0

Design ; Makin Mahal, Makin Kreatif

Oleh Candra Agustinus

Here we go.
It is true bahwa sebagai seorang graphic designer, kita harus menghargai hasil kerja kita sendiri, sekaligus mengajak pihak lain (dalam konteks tulisan ini : klien) berada dalam perasaan dan sikap yang sama. Berbagai cara sering kita lakukan only to convince our existing and potential clients that what they pay is more than what they get (ini bahkan lebih dahsyat dari propaganda yang sering kita terima selama ini yaitu : what u see is what u get). Beberapa diantaranya misalnya (bukan bermaksud menyindir) : mengeluarkan secara perlahan laptop dengan logo buah ditengahnya sehingga calon klien kita dengan cerahnya bisa komentar “Whaww, pake ‘buah’ ya, asli designer dong?”, kemudian dilanjutkan dengan presentasi menggunakan aplikasi Keynote yang lebih indah dibandingkan software buatan om Gates yang sekali lagi membuat calon klien kita termehek-mehek melihat animasi-animasinya yang mencengangkan.



Belum selesai sampai disitu, kita bahkan mungkin harus semakin meningkatkan kharisma kita sebagai graphic designer dengan membuat beberapa komparasi case study dari brand-brand kelas dunia bahwa what we are doing here is on the right track. Dengan demikian, ekspresi yang segar akan menjadi hasil panen dari segala persiapan kita tepat pada pada saat kita menutup presentasi dan mengatakan “thanks for your time and we do hope our presentation could meet your inquiries in a proper way“.
Setelah menarik napas dalam dan panjang, kita pun akan duduk bersama dengan calon klien untuk bicara details dan (inilah inti tulisan saya) the amount they have to pay for such a good and convincing materials.

Saya tidak akan membahas bagaimana sebuah negosiasi berjalan agar kita selalu berada di pihak yang menang. Namun, yang menjadi esensi tulisan ini adalah bagaimana sikap kita sebagai seorang graphic designer dalam menghadapi suatu fakta bahwa yang kita peroleh tidak terlalu sesuai dengan harapan kita? Bahwa kita mungkin akan dibayar lebih rendah dari ekspektasi kita?
Di lain pihak, dalam berbagai casual talk dengan teman-teman di bidang branding consultancy dan juga graphic design house, saya sering kali mendengar bahwa beberapa branding consultancy mengenakan rate ratusan ribu dolar untuk sebuah proyek design (bahkan lebih) dan juga beberapa design house yang mengenakan rate sekian juta untuk sebuah proyek design. Dan saya seringkali bertanya kepada diri saya sendiri, apakah mereka yang dibayar ratusan ribu dolar itu jauuuhhhh lebih kreatif dibandingkan mereka yang dibayar sekian juta rupiah ini?

Belum lagi, seringkali juga saya mendengar dari teman-teman yang bilang “ya jelas aja mereka bisa luar biasa gitu konsepnya, dibayarnya juga miliaran, booo!” sehingga saya bisa ikut tertawa juga di dalam perasaan seperti itu.
Sampai akhirnya, saya berani berkata (at least to myself), “Tidak, mereka yang dibayar lebih mahal tidaklah lebih kreatif, dan mereka yang dibayar lebih murah tidaklah lebih uncreative“.

Why?

1. I believe that creativity is not measured by price. Bahwa mental “Kalo gw dibayar mahal, gw akan lebih kreatif” itu sama sekali salah. Dalam perjalanan saya pribadi, saya seringkali dihadapkan pada beberapa pekerjaan pro-bono (untuk keperluan ministry / keluarga dsbnya) yang datang dengan harapan dan kepercayaan bahwa saya dapat memberikan solusi kreatif buat mereka. Jadi, apakah dengan kondisi tidak dibayar, kita menjadi sangat tidak kreatif? Tentu tidak.
2. I believe that creativity is nurtured by time and research. Jujur, saya pribadi lebih sering menghadapi creativity block pada saat dihadapkan dengan pekerjaan yang menuntut waktu yang tidak reasonable dengan bayaran yang menggiurkan, dibandingkan dengan working period yang lebih nyaman dengan nilai yang kadang lebih rendah. Walaupun bersifat subjektif, tapi saya rasa kita tetap perlu waktu untuk menghayalkan sebuah konsep.
3. I believe in doing things by heart. Ringkasnya, saya lebih sering merasa puas dengan klien yang secara jujur mengatakan bahwa mereka sangat menghargai kerja keras saya, namun belum ada dalam kapasitas yang kuat untuk membayar lebih, dibandingkan dengan klien-klien lain yang tidak terlalu peduli dengan kerja keras kita dan berperilaku seenaknya dalam suatu negosiasi.
Last but not least, seperti kata om Jobs “Stay foolish“, marilah kita tetap antusias menimba ilmu dan pengalaman, dan selalu ingat perkataan om Rand “Don’t try to be original, just try to be good“.
“Bravo!” Desain Grafis Indonesia.



Candra Agustinus, yang berlatar belakang ilmu ekonomi dan pemasaran ini sangat menyukai misteri dari kombinasi antara desain grafis dengan strategi pemasaran untuk menjangkau masyarakat luas. Setelah cukup lama bekerja dalam bidang promotion di berbagai perusahaan, akhirnya pada tahun 2004, Candra mendirikan sebuah design house bernama BravoDesign yang memberikan solusi bagi berbagai perusahaan di berbagai skala dalam hal visual design dan web design.

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top Blogger Widgets